Mengungkap Asal-Usul Rujak Juhi Khas Betawi: Jejak Rasa dari Laut ke Kota Tua Jakarta
Rujak Juhi Khas Betawi Jejak Rasa dari Laut ke Kota Tua Jakarta
Di antara deretan kuliner khas Betawi yang menggoda — seperti kerak telor, soto tangkar, dan gado-gado — ada satu hidangan yang tampil sederhana namun memiliki kisah panjang dan unik: rujak juhi.Tapi justru di situlah letak keistimewaannya.
Rujak juhi bukan hanya sekadar makanan jalanan; ia adalah jejak sejarah akulturasi budaya, cerminan dari pertemuan antara masyarakat pesisir Jakarta dengan para pedagang Tionghoa dan nelayan dari laut utara Jawa.

Jejak Awal dari Laut: “Juhi” si Cumi Kering
Nama juhi berasal dari bahasa Hokkien, yaitu sebutan untuk ikan sotong atau cumi-cumi kering. Pada masa lalu, sekitar abad ke-19, para pedagang Tionghoa yang datang ke Batavia (kini Jakarta) membawa bahan pangan hasil olahan laut seperti ikan asin, cumi kering, dan udang rebon.Proses itu tidak hanya menambah aroma harum asap, tetapi juga memberi tekstur unik — renyah di tepi, namun lembut saat berpadu dengan bumbu kacang.
Bagi masyarakat pesisir Betawi, bahan seperti ini sangat cocok karena tahan lama dan mudah dikombinasikan dengan sayuran lokal. Maka, lahirlah ide untuk menjadikannya pelengkap rujak — tapi dengan gaya yang lebih “Jakarta banget”.
Dari Rujak Tradisional ke Rujak Juhi
Rujak sudah lama menjadi bagian dari budaya kuliner Nusantara — hidangan berbumbu kacang, pedas, dan manis yang menyegarkan. Namun, rujak juhi menghadirkan versi berbeda.
Alih-alih buah-buahan, bahan dasarnya terdiri dari mi kuning, kentang rebus, kol, selada, mentimun, dan juhi panggang.
Rasa rujak juhi benar-benar kompleks: gurih dari juhi, manis pedas dari saus kacang, dan segar dari sayuran mentah.
Setiap suapan seperti menghadirkan harmoni yang mewakili keanekaragaman Jakarta — ada laut, daratan, dan budaya yang berpadu dalam satu piring.
Tak heran, banyak orang menyebut rujak juhi sebagai “gado-gado laut”, meski cita rasanya jelas berbeda. Kalau gado-gado terasa lebih berat dan gurih, rujak juhi lebih ringan, segar, dan punya aroma laut yang khas.
Cita Rasa Unik yang Sulit Ditiru
Salah satu alasan mengapa rujak juhi tidak banyak ditemukan di luar Jakarta adalah karena bahan utama “juhi” sulit didapat. Sotong kering khas yang digunakan biasanya berasal dari daerah pesisir utara Jawa dan diolah dengan cara tradisional.
Selain itu, keseimbangan bumbunya juga tidak mudah. Saus kacangnya harus memiliki rasa manis, asin, pedas, dan sedikit asam secara seimbang. Terlalu banyak gula akan membuatnya enek, sementara terlalu pedas bisa menutupi aroma khas juhi yang halus.
Rujak juhi yang baik selalu memiliki aroma asap tipis dari juhi panggang dan rasa kacang yang legit, dengan tekstur mi yang kenyal berpadu sayuran segar.
Sederhana, tapi membutuhkan keahlian dan intuisi rasa yang tajam.
Warisan Kuliner yang Bertahan di Tengah Zaman
Kini, rujak juhi mungkin tidak sepopuler makanan kekinian seperti seblak atau rice bowl, tapi ia tetap punya tempat tersendiri di hati orang Betawi.
Beberapa warung legendaris seperti Rujak Juhi Ny. Lily di Cikini atau Rujak Juhi & Gado-Gado Mangga Besar masih ramai dikunjungi para penikmat kuliner yang mencari cita rasa nostalgia.
Lebih dari sekadar makanan, rujak juhi adalah jejak pertemuan budaya dan perjalanan sejarah. Ia mengingatkan kita bahwa Jakarta — atau Batavia di masa lalu — adalah kota pelabuhan yang terbuka, tempat berbagai bangsa dan rasa bertemu, berbaur, dan melahirkan sesuatu yang baru.
BACA JUGA :
Lumpia Basah Bandung yang Terkenal dan Populer di Kota Kembang
Penutup: Rasa yang Menyimpan Cerita
Rujak juhi mungkin terlihat sederhana — hanya campuran mi, sayur, dan bumbu kacang. Tapi di balik kesederhanaan itu tersimpan cerita panjang tentang laut, perantau, dan persahabatan lintas budaya.
Setiap suapan membawa aroma sejarah Betawi yang hidup — gurih, manis, sedikit pedas, tapi selalu meninggalkan kesan mendalam.